Tengku Daud Beureueh (1899-1987)
Teungku M.
Daud Beureueh dilahirkan
pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah
Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik
Islam. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar
dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam)
Beureueh".
Teungku Daud
Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh
dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir
setiap magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid
kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di
bawah
bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya
kemudian.
Orang tuanya
memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran
dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan
orang tuanya
adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama
sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia
sekolah,
ayahnya
tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda
seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS.
Namun lebih
mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa
kerajaan Islam dahulu seperti dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah
semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh
masih dalam
suasana
perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat
Aceh.
Dalam pusat
pendidikan semacam ini, Abu Daud ditempa dan di didik dalam mempelajari
tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir,
tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah
tatanegara dalam kekhilafahan Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari
latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi,
merupakan modal bagi keulamaannya kelak
Daud
Beureueh tidak suka tari Seudati tari Aceh yang terkenal hingga ke mancanegara.
Alasannya, tari Seudati biasa digelar sampai malam, ditonton laki-laki dan
perempuan. "Abu berpikir, bila mereka terus pulang berduaan, apa tidak
mengundang kemaksiatan?" .
Konon, Abu
juga tak senang sepak bola. , memang hampir seluruh ulama Aceh dulu menganggap
permainan sepak bola meniru dan mengingatkan orang akan nasib tragis Husein,
cucu Nabi yang tewas di Padang Karbala dibantai Muawiyah.
Lehernya
dipenggal dan kepalanya ditendang-tendang di tanah. Abu juga tak senang pada
para hulubalang elite yang hidup mewah misalnya punya ruko biliar dan klub
sepak bola, sebuah gaya hidup yang menurut Daud Beureueh tidak nyambung dengan
masyarakat bawah. Semua hal ini mencerminkan betapa sebagai pemimpin Abu amat
jauh dari materi. Keimanannya jauh lebih tinggi dari godaan materi. Ia pemimpin
yang bersih. Beberapa pejuang yang turun dari hutan mendapat tanah dari
pemerintah. Tapi Abu menolak. "Sampai meninggal ia tak punya rumah,".
Sekalipun
tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya
berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu,
termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan
kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu
belajar cepat).
Kemampuan
yang luar biasa ini, sebagian besar karena setiap muslim merasa menuntut ilmu
adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama
dengan
"mendirikan
shalat". Dalam usia yang sangat muda, yaitu 15 tahun, ia sudah menguasai
ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan
segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium."
Abu Daud
terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada
pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula
yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.
Beliau
mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh.
Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian
orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja.
Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya.
Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan
tokoh-tokoh pejuang Islam-nya.
Beliau juga
membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri.
Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai
ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Untuk
membungkam dan memadamkan perlawanan Mujahidin Aceh, Belanda, atas saran Snouk
Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat
aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini
membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan
melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori
oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres
pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh
adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga
secara fakta menjadi "pemimpin Aceh".
PUSA inilah
yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu,
PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam
dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya
didirikan dengan latar keagamaan, PUSA akhirnya juga dimusuhi Belanda. Itu
semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan
semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah belanda. Hal ini
menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial
Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi
gerakan bawah tanah.
Semenjak
itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam
pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan
di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat
hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh para
sultan Islam sebelum mereka. Menurut catatan , "M Daud Beureueh berbicara
tentang sebuah Negara beridiologi Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma
untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di
negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi
penganut Kristen dalam
negara-negara
Islam di era ke khilafahan. Kaum non muslim akan diberi kebebasan dan dilindungi
dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak akan pernah dapat
merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang
didasarkan atas tatanan hukum Alquran dan assunah."
Langkah awal
dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah
dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal
kemerdekaan ketika Daud Beureueh bertemu Presiden Soekarno di Hotel Atjeh (kini
tak ada lagi, dulu di seberang kanan Masjid Baiturrahman).
Soekarno
datang dengan tujuan mengajak Abu Beureueh membantu perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Saat itu,
perang dunia kedua telah usai namun Belanda mulai melancarkan agresi militer
untuk menguasai kembali bekas jajahannya selama tiga setengah abad itu.
"Tolong
bantu revolusi ini, perjuangan kemerdekaan ini," kata Soekarno .
Lalu Abu
Beueureh pun bertanya kembali kepada Soekarno, "Untuk apa Indonesia
merdeka?"
Soekarno pun
menjawab: "Untuk Islam, Kak!"
"Betulkah
ini?" selidik
Beureueh.
"Betul,
Kak. Aku seorang Muslim, ditakdirkan Tuhan sekarang menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama yang baru kita proklamirkan. Sebagai seorang Muslim,
saya bersumpah bahwa kemerdekaan kita ini adalah untuk Islam. Jadi tolong Kakak
berikan sokongan untuk mempertahankan Republik kemerdekaan kita ini?"
Mendengar
jawaban Soekarno, Daud Beureueh kontan memanggil para ulama-ulama Aceh.
"Macam
mana?"
"Wah
ini peluang syahid!?" kata para ulama itu. "Ayo kita bantu! Kita syahid kalau pun
mati".
Daud
Beureueh: “Saudara presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati
dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan
itu berupa perang jihad atau perang fie sabilillah, perang untuk menegakkan
agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu
maka berarti mati syahid”.
Soekarno: “Kakak!
Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh
pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjik Di Tiro dan lain-lain,
yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan 'merdeka atau
syahid”.
Daud
Beureueh: “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden,
dengan demikian boleh lah saya mohon kepada Saudara Presiden bahwa apabila
perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk
menjalankan Syari'at Islam di dalam daerahnya”.
Soekarno: “Mengenai
hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rak-yat Indonesia beragama Islam”.
Daud
Beureueh: “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan
bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata
ketentuan dari Saudara Presiden”.
Soekarno: “Kalau
demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud
Beureueh: “Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima
kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil
menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Saudara Presiden
menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar
ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu, Presiden Soekarno langsung menangis
terisak-isak. Air mata yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam
keadaan terisak itu Presiden
Soekarno
berkata: “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa
gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya”.
Langsung
saja Tengku Muhammad Daud Beureueh menjawab: “Bukan kami tidak percaya,
Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami
perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berjihad!”.
Lantas
Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya berkata: “Wallahi, Billahi,
kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri
sesuai dengan Syari'at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya
agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari'at Islam di dalam
daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”.
Di jawab
oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: “Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden.
Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan
hati Saudara Presiden”.
Menurut
keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat
presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan
hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu”.
Dari dialog
di atas, dapat dimaklumi bahwa secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh
ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi daerah penerapan hukum
Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia melawan Belanda, dengan
suatu syarat, supaya Syari'at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan
kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku Syari'at Islam tetap dalam bingkai
NKRI.
Sumber :M.
Nur El Ibrahmy, Peranan Tengku Daud Beureuh Dalam Pergolakan Aceh (Jakarta:
Media Dakwah, 2001)
Kabar
kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di
Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan
yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus
merdeka dari Belanda,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang
berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar mujahidin
Aceh mendukung Soekarno.
Selain
dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota
bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda ukhuwah pada
pemerintah antara lain adalah saat ibukota lndonesia masih di Yogyakarta. Ketika
kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II,
tanpa dikomando, mujahid Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi
dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.
Tahun 1948,
ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara
ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi
propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur
Militer Aceh.
Oleh karena
kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan
melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh.
Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis,
Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang
keras ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah
bagian Indonesia.
Sebagai
tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana zakat,infaq,sadaqah rakyat.
Setahun
kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana zakat,infaq,sadaqah rakyat
500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu
diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan
negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke
Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA
Maramis. Aceh juga menyumbang emas batangan untuk membeli obligasi pemerintah,
membiayai berdirinya perwakilan RI di India, dan Singapura . Saat itu Soekarno
menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Begitu juga
saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di
Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya
“akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih mujahid Aceh untuk
pemerintah Ordelama akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut
saja cikal bakal penerbangan Indonesia. mujahid Aceh-lah yang memulai dengan
pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk lndonesia.
Akan tetapi,
meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ter-nyata ia ingkar dan
tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. , tuntutan untuk hidup di bawah
syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak
tiri” pemerintahan Oredelama, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan
melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.
janji
Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.
Soekarno
termasuk pengagum Kemal Attaturk, Presiden Turki keturunan Yahudi yang paling
lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan.
Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem
kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi
bahasa nasional Turki. Dia berkata: “Agama hanyalah hubungan pribadi dengan
Tuhan, sedangkan negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu
racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhem-bus
kencang.
Sebagaimana
Kemal Attaturk, dalam pidato agitasinya di Amuntai Kalimantan Selatan, 1954,
Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari
Republik Indonesia.
Mengapa
Soekarno ingkar janji terhadap rak-yat Aceh, dan menolak ber-lakunya Syari'at
Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang
Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. “Saya mengaku, pada waktu saya
berumur 16 tahun, saya di-pengaruhi oleh seorang Sosialis bernama A. Baars,
yang memberi pelajaran kepada saya, 'jangan ber-paham kebangsaan, tetapi
berpahamlah rasa kema-nusiaan sedunia'”, kata-nya. Pengakuan ini
diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI.
Selanjutnya,
dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: “Tetapi pada tahun 1918,
alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen.
Di dalam tulisannya San Min Cu I atau The Theree People's Principles, saya
mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars
itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh
buku tersebut”.
Melihat
kenyataan ini, suatu hari dengan suara masygul, Tengku Daud Beureueh pernah
berkata: “Sudah ratusan tahun Syari'at Islam berlaku di Aceh, tetapi hanya
beberapa tahun bergabung dengan Sukarno, sirna hukum Islam di Aceh".
Oleh karena
itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya Syari'at Islam di Aceh”. ,
Beliau
berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak
dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri
!.”
Intinya,
Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang.
Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai
syariat Islam.
Teungku Daud
Beureueh menandaskan, jika benar sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia
seharusnya tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin
partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud
Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum sosialis
komunis yang menginginkan negara Marxis-ateis-tik (anti agama), umat Islam yang
menghendaki Negara ber idiologi Islam, dan golongan Kapitalis (nasionalis). Ia
cemas bahwa golongan Kapitalis dan Marxis sedang mengakar,
tapi
merekasendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah.
Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan
untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu.
Ketika itu
Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri
terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem
pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan Dakwah dan Jihad.
Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai
Islam yang tidak pernah memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.
Banyak orang
menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah
sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk muslim Aceh yang
diterimanya?
Masalah yang
paling “merisaukan” Aceh adalah keinginan pemerintah pusat untuk menggabungkan
Aceh dengan Tapanuli dan Sumatera Timur dalam propinsi Sumatera Utara.
Ketetapan Wakil Perdana Menteri Mr. Syafruddin Prawiranegara No. 8\Des\WPM
Tahun 1949 tentang status hukum provinsi Aceh dinyatakan tidak sah oleh Aceh.
Perubahan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat dengan 10
provinsi dengan berdasarkan Perpu No. 5 Tahun 1950 telah membuat suasana Aceh
menjadi tegang karena kuatnya penolakan Aceh terhadap penyatuan mereka di bawah
Sumatera Utara. Kongres PUSA pada tanggal 22 Desember 1950 di Kutaraja
mengeluarkan keputusan untuk tetap memperjuangkan otonomi Aceh dengan alasan
ciri budaya dan agama yang khas, termasuk sejarah perjuangan dan kontribusi
mereka sebagai daerah modal paska kemerdekaan.
Tetapi entah
kenapa namun sejarah mencatat---Pemerintah Pusat melalui Kabine Natsir
mengambil kebijakan, Aceh yang waktu itu merupakan provinsi tersendiri dilebur
dengan Provinsi Sumatera Utara. Tidak itu saja, jabatan Tengku Daud Beureueh sebagai
Gubernur Militer dicopot dan kemudian dipermalukan: mobil dinasnya ditarik ke
Medan dan digunakan oleh petinggi provinsi gabungan itu
Berbagai
usaha pejabat pemerintah pusat untuk melakukan lobi di Aceh senantiasa gagal,
lantaran sampai dengan Kongres PUSA tahun 1953 tetap mengeluarkan keputusan
menuntut pembentukan kembali propinsi Aceh.
Sebagai
reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September
1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam
(Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM
Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa
pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal
suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung
dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI)
meneriakkan “Allahuakbar”. Dan Semangat tersebut bertambah marak.
Tanggal 19
September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara
dimulai. Pos pasukan di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi
dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara
membom pasukan DI di Bireun. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan
pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah orde lama berusaha membujuk rakyat Aceh
dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah
illegal,sesat dan memperalat agama.
"Sekeras-kerasnya
batu, dapat juga dilunakkan air," kata orang bijak. Demikian pula sekeras-kerasnya
prinsip Ayah Beureueh, akhirnya beliau luluh dengan sikap lembut dan bijaksana
Kolonel Muhammad Yasin, ketika itu. Tawarannya tepat sasaran, yaitu kompensasi
pemberlakuan Syariat Islam di Aceh. Mendengar tawaran itu, Abu Beureueh lemah
lunglai, tak berdaya. Sebagai seorang ulama, ia tidak mampu berkutik ketika
pembicaraan menyentuh hukum Islam.
Begitulah
sifat-sifat orang shaleh taat terhadap hukum-hukum Allah, ia pun berucap saat
itu 'Laaa syarikala' (tidak ada serikat bagi Engkau (Allah). Semua kepentingan
dunia ini kecil, baharu dan fana. Semua yang kaya adalah miskin jika berhadapan
dengan kekayaan yang maha agung, semua yang kuat adalah lemah ketika berhadapan
dengan kekuatan yang maha kekal dan semua yang mulia adalah hina saat
berhadapan dengan kemuliaan mu Ya Allah.
Tak ada
keraguan bagi Ayah Beureueh, lebel Syariat Islam yang diberikan kala itu sulit
direalisasinya di lapangan, jika tanpa payung hukum (system Islam yang Benar).
Rupanya harapan dan cita-cita yang baik itu ibarat kata pepatah orang Padang,
'tak lapuek dek hujan dan tak lekang dek panas'.
Setelah
pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi
untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui
screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959
pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi
tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan
sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas
pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat
sipil.
Tanggal 9
April 1962 Tgk.Muhammad Daud Beurueh mengeluarkan sebuah pernyataan di bawah
nama 'Mukaddimah Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam' dengan kelengkapannya
yang berjudul, 'Tuntutan Dasar Mukaddimah Dan lampiran Tuntutan Dasar
Mukaddimah'.
Dalam
mukaddimah pernyataan itu, Tgk.Muhammad Daud Beureueh menyatakan;
"Pemerintah RI dengan keputusannya No.1/Missi/1959 telah memutuskan,
mengakui hak umum istimewa untuk Aceh, terutama dalam lapangan keagamaan,
peradatan dan pendidikan." Pernyataan misi Pemerintah RI, tertanggal 26
Mei 1959, terutama dalam ayat 2 dari bunyi pernyataan tersebut dengan tegas dan
terang menggambarkan betapa jiwa, semangat dan keazaman rakyat Aceh dengan
kata-kata: Ternyata, bahwa daerah tersebut dalam suasana geloranya persatuan
ketika pecah revolusi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, telah dapat memberikan amal
jasanya yang tak terhingga dalam perjuangan kemerdekaan.
Bahwa,
kemudian dan penerimaan dan pembenaran dakwah yang dimajukan atas nama rakyat
Aceh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, bertarikh mardlatillah, 24 Jumadil
Awal 1381/4 November 1961 kepada Pemerintah RI oleh Menteri Keamanan
nasional/Kepala Staf Angkatan Darat bertarikh Jakarta, 21 November 1961.
Setelah
mukaddimah menyebut surat-surat Kolonel Muhammad Yasin, keputusan penguasa
perang Daerah Istimewa Aceh tentang pelaksanaan Syariat Islam, maka mukaddimah
tersebut menyimpulkan. Maka sampailah kita sudah ke pantai emas idaman cita,
karenanya perlulah kita memberi wujud dan kenyataan akan pemikiran-pemikiran
pokok, merampungkan tugas mulia melaksanakan unsur-unsur Syariat Agama Islam
yang suci dalam segala bentuk dan bidang hidup dan kehidupan rakyat Aceh yang
diridai Allah, juga sebagaimana yang dicita-citakan oleh para syuhada dan
pahlawan kemerdekaan kita, baik sesudah proklamasi 17 Agustus 1945 maupun
sebelumnya.
Maka
kemudian dengan memperbanyak doa seraya tunduk sujud menyerah diri ke hadhirat
Allah SWT memohon dilimpahkan rahmat, karunia, taufiq dan hidayahNya, semoga
rakyat Aceh yang tercinta mendapat inayah dan nushrah dari padaNya, maka
mengundang rakyat dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dengan segala kehormatan,
menyelesaikan dengan penuh keikhlasan akan ketetapan azam dan cita-cita semula,
Insya Allah, Allahumma Amin!.
(Mardlatillah
Aceh Darussalam, 4 Zulkaedah 1381 H/9 April 1962 M, ttd.Teungku Muhammad Daud
Beureueh ), demikianisi mukaddimah tersebut.
Dengan keputusan
tersebut, Kolonel Muhammad Yasin melakukan kontak intensif dengan Abu Beurueh
(panggilan akrab terhadap Tgk.Muhammad Daud Daud Beureueh ), lewat surat
menyurat. Melalui kurir-kurirnya mengirim delegasi besar dan melakukan
perjumpaan langsung di Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, sehingga tiba pada
kesimpulan, itulah jalan kembali buat Abu Beureueh .
Bertitik
tolak dari pernyataan tersebut, kembalinya Daud Beureueh ke pangkuan RI sudah
ada kata akhir, tinggal mengatur teknisnya saja bagaimana beliau kembali.
Selanjutnya, Kolonel Muhammad Yasin melakukan pendekatan yang amat bijaksana,
sesuai adat rakyat Aceh dengan mengirim lagi utusannya untuk menjemput Daud
Beureueh . Utusan ini dipimpin Kolonel Nyak Adam kamil, dengan sejumlah orang
patut dan terkemuka. Dengan membawa 'ranub lampuan' (sirih dalam cerana).
4 Mei 1962
delegasi Nyak Adam Kamil berangkat dari Banda Aceh menuju Lampahan, tempat
bermukimnya Daud Beureueh atau markas terakhir DI/TII. Hari ke enam (9 Mei
1962) delegasi tiba di tempat tujuan dan dengan upacara sederhana, Nyak Adam
Kamil mempersembahkan 'ranub lam puana' kepad Daud Beureueh , seraya memohon
kesediaan beliau turun bersama delegasi dalam rangka kembali ke pangkuan RI.
Daud
Beureueh menerima positif ajakan itu dan pada 10 Mei 1962, beliau meninggalkan
markas terakhir DI/TII, lalu menginap di Lhokseumawe dan Beureunuen, serta pada
tanggal 13 Mei 1962 Daud Beureueh dan rombongan tiba di masjid Indrapuri yang
beberapa ratus tahun lalu dibangun Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam serta
bermalam di masjid tersebut, menunggu esok harinya dijemput oleh unsur
Pemerintahan Provinsi Dista Aceh, atau Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sebuah
peristuwa yang membuat Abu Beureueh mengernyitkan dahi. Adegan ini terjadi pada
awal 1980-an di Beureunen kota kecil 15 kilometer dari Sigli, ibu kota
Kabupaten Pidie. Ketika itu sang Abu baru pulang dari tahanan rumah di Jakarta.
Tengah berjalan-jalan di pasar dia melihat sekerumunan orang sibuk
mencoret-coret kertas di sebuah kedai kopi. "Sedang apa mereka itu?
Kok, sibuk sekali?" tanya Beureueh kepada Yasin, Camat Beureunen yang
mendampinginya. "Mereka menerka kode buntut, Abu," jawab
Yasin. Abu bergumam. "Hmm, judi rupanya."
Tanpa
disangka, Beureueh masuk ke kedai kopi itu. Tiba-tiba dia memukulkan tongkatnya
keras-keras ke atas meja. Kertas kode buntut bertebaran. Lalu dengan suara
menggelegar, dia menghardik dalam bahasa Aceh kasar: "Peu nyang neu
peubut nyan. Buet bui? Apa yang sedang kalian kerjakan ini. Pekerjaan babi?
Mereka yang hadir di kedai kopi itu langsung ambil langkah seribu. Tak ada yang
berani ambil risiko berurusan dengan tokoh Mujahidin nomor wahid di Pulau
Sumatera itu.Ia kemudian meninggal dunia pada tahun 1987 dalam keadaan buta -
buta yang menurut kabar disengaja dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat
sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah
terkontaminasi oleh ide-ide sekuler.
bagaimana
mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di
paruh kedua abad keduapuluh.. Namun, kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu
Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai,
seorang ulama yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang
dihormati." Tidak lebih dari itu.
Seakan-akan
dan memang inilah kesimpulan waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu
Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya
"Bapak Orang-Orang Aceh", maka kini Aceh kemudian memasuki babak baru
pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan Sistem
Kapitalisme, Demokrasi dan sekulerisme seperti agama baru yang disambut banyak
kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.
No comments:
Post a Comment